Rabu, 01 Juni 2011

Cinta Bahasa Sendiri

Bahasa dalam kaitanya dengan ucapan tidaklah segampang orang membayangkannya. Orang menganggap bahasa sebagai sesuatu yang kurang terlalu penting,dan menganggap remeh bahasa. Berkait dengan fakta diatas  para pakar memberikan  runusan sebab-sebab keterbelakangan pendidikan di Indosesia. Keterbelakangan tersebut disebabkan oleh :
 1. Pendidikan diselenggarakan untuk kepentingan penyelenggara bukan untuk peserta didik
 2. pembelajaran yang diselenggarakan bersifat pemeindahan isi
 3. aspek afektif cenderung terabaikan
 4. diskriminasi penguasaan wawasan terjadi akibat anggapan bahwa yang di pusat mengetahui segalanya         dibandingka dengan yang di daerah merasa yang mengetahui segalanya dibandingkan dengan yang dicabang.

A. Posisi Pembelajaran Bahasa Indonesia
     Posisi bahasa berada dalam 2 tugas yang pertama bahasa sebagai bahasa nasional. Bahasa indonesia  digunakan sebagai bahasa nonresmi, santai dan bebas. Yang dipentingkan dalam pergaulan dan perhubungan antarwarga adalah makna yang disampaikan.
     Tugas kedua adalah  bahasa indonesia sebagai bahasa negara. Dengan begitu bahasa harus digunakan sesuai dengan kaidah ,tertib cermat dan masuk akal. Saat ini bahasa indonesia mengalami perkembangan puncak. Hampir 40 negara membuka program studi bahasa indonesia diwilayahnya. Tahun ini 2001, Usbekhistan menawari warga indonesia yang berkemampuan dibidang bahasa indonesia untuk menjadi pengelola program studi bahasa indonesia di negara itu.Australia bagian utara telah memasukan bahasa indonesia di kurikulum bahasa kedua di sekolah. Di Jepang banyak kursus-kursus bahasa indosesia yang dibuka di kota - kota besar. Disisi lain banyak kamus bahasa indonesia yang diterbitkan dinegara lain.
     sastra sesungguhnya merupakan produk budaya. Ia lahir dari kegelisahan kultural seorang pengarang. Secara sosiologis, pengarang adalah anggota masyarakat, makhluk sosial yang sangat dipengaruhi lingkungan sosial budaya masyarakatnya. Maka, ketika ia memutuskan hendak mengungkapkan kegelisahannya sebagai tanggapan evaluatif atas segala problem yang terjadi dalam komunitas budayanya, representasinya terakumulasi dalam teks sastra. Dengan demikian, teks sastra sebenarnya dapat digunakan menjadi semacam pintu masuk untuk memahami kebudayaan sebuah komunitas.
       Dalam banyak pandangan pengamat sastra Indonesia, kesusastraan Indonesia yang sejatinya merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan yang melahirkannya, seolah-olah wujud begitu saja, tanpa proses, tanpa pergulatan budaya pengarangnya. Sepertinya, sastra Indonesia dibawa para malaikat dari langit dan kemudian jatuh seketika di ruang pembaca. Seolah-olah lagi, sastra Indonesia datang dari tiada menjadi ada, dari situasi kosong, tanpa apa pun, tiba-tiba lahir dan mengada. Akibatnya, sastra Indonesia dimaknai tanpa ada usaha untuk memahami berbagai masalah sosio-kultural yang melatarbelakanginya dan penyelusupan ideologi yang melatardepaninya. Oleh karena itu, sastra Indonesia seperti telah tercerabut dari akar budaya dan problem ideologi, ketika ia diposisikan sebagai teks an sich.

Pencerabutan sastra Indonesia dari akar budayanya itu terjadi juga ketika tiba-tiba ada pemisahan yang tegas antara sastra Indonesia lama dan sastra Indonesia modern.4Demikian juga hubungan sastra daerah5 dan sastra Indonesia seolah-olah sudah menjadi produk budaya yang berada dalam dua kutub yang berjauhan. Keduanya seperti berjalan sendiri-sendiri dan seolah-olah tidak saling mengenal, tidak saling mempengaruhi.
     Pada zaman Jepang (1942—1945), konsep lokalitas bisa ditarik—ulur sesuai tuntutan ideologi pemerintah pendudukan Jepang. Lokalitas Jawa dengan ikon Borobudur, misalnya, bisa ditempatkan sebagai milik Indonesia, cermin kemajuan peradaban Asia Tenggara, menjadi kebanggaan bangsa Asia, awal kebangkitan kembali bangsa-bangsa di Asia—Afrika (: Mesir). Dengan demikian, Sakura, Angkor Wat, Tembok Besar Cina atau piramida Mesir, sengaja digunakan sebagai pintu masuk untuk menumbuhkan rasa percaya diri bangsa Asia dan kebangkitan bangsa-bangsa Asia dan Afrika dalam menentang kolonialisme (Barat). Lokalitas digunakan sebagai alat menggugah sentimen ras sesama bangsa Asia. Jika pada zaman sebelumnya dunia Timur digambarkan sebagai stereotipe tradisional, terbelakang, tidak berbudaya, irasional, dan mirip barang rongsokan, maka pada zaman Jepang, stereotipe itu dibongkar dan dicitrakan sebaliknya. Citra bangsa Barat –kecuali Jerman dan Italia yang menjadi sekutu Jepang—kerap digambarkan sebagai bangsa yang serakah yang pada akhirnya menjadi pecundang.
        

Tidak ada komentar: